PURWASUKA–Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati menilai meskipun Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 semakin dekat, tetapi narasi masih sebatas nama atau figur calon pemimpin.
Narasi Pemilu 2024 khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres) sejauh ini belum bergeser ke diskursus ke program atau gagasan alias belum menyentuh masalah fundamental.
“Narasi Pilpres masih terjebak pada nama, mengasumsikan bahwa setiap nama punya program yang jelas mulia. Padahal itu belum jelas. Belum kelihatan adu gagasan sang nakhoda akan membawa kapal besar Indonesia ke mana lima tahun ke depan,” kata Mada Sukmajati dilansir PURWASUKA dari laman UGM diunggah Kamis, 12 Januari 2023.
Sepanjang diskurus Pemilu 2024, khususnya Pilpres sebatas nama atau figur yang akan maju, politik pragmatis tidak dapar berkembang.
Baca Juga:7 Kode Redeem FF 16 Januari 2023, Klaim Sekarang Juga!
“Mau dibawa kemana Indonesia ke depan sampai sekarang belum tahu. Menurut saya ini sangat ironis,” ucap dia.
Sementara Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Andi Sandi mengatakan, sudah saatnya para kandidat didorong untuk lebih fokus menawarkan program kerja lima tahunan.
Selain itu, para kandidat pun seharusnya bisa menurunkan tensi dan polarisasi, terutama yang melibatkan politik identitas.
“Ini tidak baik bagi kontestasi politik. Ketika memanfaatkan isu SARA ini tidak menyelesaikan masalah,” kata dia.
Andi Sandi menambahkan, dalam proses kampanye ada kecenderungan dari kandidat politik untuk saling menyerang. Dampaknya masyarakat akan terpecah. Hal ini menjadi salah satu isu yang perlu menjadi perhatian dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024.
Baca Juga:Masyarakat Resah, Kawanan Geng Kembali Membrutal di Purwakata
“Perlu dipahami bahwa ketika menonjolkan program tidak perlu mendiskreditkan calon dari partai lain. Efeknya masyarakat makin terpecah, padahal Indonesia dibangun di atas fondasi persatuan. Menonjolkan diri boleh tapi tidak dengan menginjak yang lain,” tambah dia.
Ditempat yang sama, Pakar Komunikasi Politik UGM, Nyarwi Ahmad menyinggung soal potensi penyebaran hoaks atau disinformasi menjelang tahun politik 2024.
Menurut Nyarwi Ahmad, disinformasi berpeluang tumbuh subuh ditengah lanskap masyarakat modern yang lekat dengan penggunaan media sosial, dan di tengah pertarungan politik dengan polarisasi yang kuat.
“Dalam dunia politik informasi menjadi oksigen, kunci yang menggerakkan semua persepsi bahkan semua perilaku. Kalau zaman dulu dari media massa ada gatekeeper teman-teman wartawan. Disini siapa pun bisa jadi content creator. Di sini ada peluang hoaks dengan mudah diproduksi dan dengan cepat tersebar,” tambah dia.
Upaya menekan penyebaran hoaks kata Nyarwi Ahmad, memang telah bermunculan, baik berupa gerakan literasi dari berbagai kalangan masyarakat maupun upaya-upaya dari pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Selain itu, ada kecenderungan para elite politik kini juga cukup hati-hati dalam menyebarkan informasi melalui media sosial demi menjaga citra dirinya. Kondisi ini membawa harapan untuk meredanya hoaks.
Namun kunci penentu dipegang oleh para elite politik, dan kesadaran mereka dalam melakukan komunikasi politik secara bijak.
“Kembali lagi pada aktor elite politik, sejauh mana mereka punya kesadaran itu. Bermain dengan hoaks itu seperti main api, bisa merugikan para aktor yang berkontestasi juga,” ucapnya.
Nyarwi Ahmad juga menekankan pentingnya komunikasi politik yang berfokus pada visi misi dan orientasi kebijakan.
“Komunikasi politik yang baik bukan hanya persuasif tetapi mencerahkan dan menginspirasi,” tambah dia. ***