JAKARTA – Sebuah penelitian yang dilakukan Katadata Insight Center menyebutkan, pembangunan rumah subsidi kurang diminati pengembang besar. Umumnya, pembangunan rumah subsidi dilakukan oleh para pengembang skala kecil-menengah.
Panel Ahli Katadata Insight Center, Mulya Amri Ph.D mengatakan, akses permodalan dan regulasi kerap menjadi keluhan bagi pengembang rumah subsidi. Selain itu motif ekonomi menjadi alasan utama minimnya partisipasi pengembang skala besar.
Padahal, memiliki rumah tinggal yang layak huni merupakan hak asasi setiap warga negara, dan tugas pemerintah adalah memastikan hak tersebut terpenuhi
Seperti diketahui, di antara kebutuhan pokok, kebutuhan papan menjadi yang paling sulit dipenuhi. Tingkat harga yang tidak seimbang dengan pendapatan menyebablam munculnya golongan masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR.
Baca Juga:Ada Perbaikan, Waspada Macet di Jalan Ki Hajar Dewantara Subang
Hal ini menjadi perhatian pemerintah, sebab perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia yang dijamin Undang-undang Dasar 1945.
Sehingga peran vital pemerintah dan lembaga perbankan sangat diperlukan. Alasannya, penambahan rumah subsidi sangat bergantung pada regulasi dan alokasi program pembiayaan pemerintah.
“Sehingga dibutuhkan lembaga perbankan yang berkomitmen menyalurkan kredit konstruksi dan KPR bersubsidi,” ungkap Mulya Amri dalam sebuah webdinar bertema “Rumah untuk Semua, Mencari Solusi Masyarakat Merdeka Punya Rumah Layak” yang digelar pada Senin (15/8/2022).
Sementara itu, kata Mulya Amri, beragam intvestasi terus diupayakan untuk mengatasi sisi permintaan. Lebih dari 35 persen angka backlog membutuhkan bantuan pembiayaan.
Salah satu jenis pembiayaan Kredit Pembiayaan Rumah (KPR) yang disediakan oleh pemerintah yaitu Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Baca Juga:Oleng Hindari Jalan Berlubang, Truk Bermuatan Karton Terguling
Program FLPP yang bersumber dari APBN disebutkan berkontribusi mengurangi backlog kepemilikan 1.2% hingga 2.16%. Selain itu kehadiran BP Tapera diharapkan menjadi sumber pendanaan non-APBN.
Saat ini, BTN menjadi bank penyalur FLPP tertinggi berdasarkan jumlah unit sejak 2010 hingga April 2022, yakni 658.980 unit. Kemudian diikuti BTN Syariah sebanyak 70.542, BNI sebanyak 60.756, BSI sebanyak 49.402, BRI sebanyak 25.932, lalu diikuti bank lainnya.
“BTN menjadi andalan saat bank lain gagal dalam penyaluran FLPP. Semenjak tahun 2022, BP Tapera mengubah mekanisme kuota menjadi komitmen,” jelasnya.
Masih menurut Mulya, dana bank penyalur juga digunakan dalam program penyaluran FLPP. Dibandingkan program subsidi lain, pemerintah mendapatkan pengembalian dari FLPP.
Dari sekian banyak persoalan, kata Mulya, harga tanah menjadi hambatan utama dalam penambahan pasokan rumah bagi MBR. Selain itu tingginya harga proferti menyebabkan masyarakat berpenghasilan rendah membutuhkan dukungan pembiayaan.
Untuk menjaga keberlanjutan program pembiayaan dibutuhkan sumber pendanaan alternatif. Sehingga kolaborasi dengan perbankan sangat penting dalam mendukung kepemilikan rumah bai MBR.
Diketahui, webdinar tersebut juga menghadirkan Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah, Direktur Rumah Umum dan Komersil KemenPUPR Fitrah Nur dan Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Moerad. (*)